Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai hajatan pemilihan umum (Pemilu) banyak
menghiasi media massa tanah air. Pemilu merupakan topik pemberitaan yang sedang
hangat dewasa ini. Berbagai hal terkait pemilu tak luput menjadi sorotan media
massa. Mulai dari pemberitaan mengenai tokoh-tokoh yang akan maju sebagai calon
presiden atau wakil presiden, survei-survei mengenai elektabilitas calon
presiden dan wakil presiden sampai pada permasalahan terkait hal teknis
pelaksanaan pemilu, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap di Komisi Pemilu (Liputan6,
31 Oktober 2013). Berbagai permasalahan kompleks tersebut menunjukkan betapa pentingnya
pemilu di Indonesia.
Sebagai negara
demokrasi, pemilu di Indonesia memiliki berbagai peran yang sangat vital. Peran
ini salah satunya berkaitan erat dengan suksesi kepemimpinan nasional dan
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Setiap lima tahun sekali, masyarakat Indonesia
melaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, seta wakil-wakil
rakyat yang akan duduk sebagai anggota DPR RI ataupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hal ini menunjukkan adanya partisipasi rakyat dalam hal pergantian kepemimpinan
secara teratur, yang mana merupakan salah satu nilai yang mendasari demokrasi
(Mayo, 1960: 218).
Selain itu, dalam hal
implementasi kedaulatan rakyat, menurut pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap pelaksanaan kedaulatan
rakyat oleh pemerintah yang berdaulat haruslah dilaksanakan menurut konstitusi,
karena pada dasarnya, negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD
1945). Konsep negara hukum sendiri menurut kesepakatan para ahli hukum dalam
Congress of Jurist di Bangkok pada tahun 1965, haruslah terdiri dari adanya
proteksi konstitusional, adanya pengadilan yang merdeka, adanya pemilu yang
bebas, adanya kebebasan menyatakan pendapat, adanya tugas oposisi dan adanya
pendidikan kewarganegaraan (Azhari, 1995:31-60).
Dalam kaitannya dengan
kedaulatan rakyat, Undang-Undang memberi pengertian bahwa Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1
angka 1 UU No. 8 Tahun 2012). Jika ditinjau dari definisi yang diberikan oleh
UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut,
maka kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Wakil-wakil rakyat dan pemimpin
yang dihasilkan dari proses pemilu adalah pemegang kedaulatan rakyat untuk
menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan fungsinya masing-masing, yang mana
kedaulatan ini harus dilaksanakan menurut konstitusi.
Edukasi Politik
Pemilu merupakan sebuah
pesta demokrasi yang dilakukan secara berkala. Dalam pelaksanaannya, berbagai
kemeriahan ditunjukkan oleh para peserta pemilu, dalam hal ini partai politik
untuk merebut hati masyarakat. Kemeriahan ini sarat dengan
kepentingan-kepentingan partai politik yang dikemas melalui berbagai hiburan
rakyat, sumbangan untuk masyarakat, simbol-simbol partai dan slogan-slogan yang
hampir semuanya menyampaikan maksud “memperjuangkan nasib rakyat kecil”.
Kemeriahan pesta demokrasi seperti ini, tidak berarti berjalan lancar tanpa
masalah. Justru berbagai kemeriahan pesta demokrasi tersebut sangat berpotensi
untuk melahirkan permasalahan, utamanya terkait money politics. Menurut ahli
hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, pengertian money politics adalah mempengaruhi
massa pemilu dengan imbalan materi. Bentuk money politics ini dapat berupa uang
suap yang diberikan oleh peserta pemilu kepada pemilih dalam suatu pemilu untuk
memilih peserta pemilu tertentu. Selain itu, intimidasi terhadap pemilih dan
permasalahan teknis pelaksanaan pemilu lainnya membutuhkan sikap cerdas dan
kritis masyarakat sebagai warga negara. Sikap cerdas dan kritis ini dapat
dibentuk melalui pendidikan politik untuk masyarakat.
Pendidikan Politik
adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung
jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pasal 1 Angka
4 UU No. 2 Tahun 2011). Dengan keterlibatannya dalam pemilu, masyarakat akan memiliki
pengalaman tentang pelaksanaan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kemudian, masyarakat akan lebih memahami bahwa sebenarnya rakyat
adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan suaranya dalam pemilu sangat
menentukan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang. Dengan
demikian, timbul sikap cerdas dan kritis masyarakat dalam menghadapi pemilu
sebagai akibat pemahamannya terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Pendidikan politik
menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa Indonesia. Unsur-unsur pemilu,
yakni partai politik, pemerintah, dan masyarakat hendaknya menyukseskan
pendidikan politik ini. Terlebih untuk partai politik sebagai peserta pemilu,
pendidikan politik sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini terkait dengan
fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yang mana sosialisasi
politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar
mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan
reaksi mereka terhadap fenomena politik (Rush, 1992:92). Sosialisasi politik
ini merupakan faktor penting dalam hal terbentuknya budaya politik suatu
bangsa. Dalam konteks yang lebih luas, fungsi partai politik sebagai sarana
sosialisasi politik ini mendukung fungsi partai politik lainnya, seperti partai
politik sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik dan
sebagai sarana pengatur konflik (Budiardjo,2008: 405-410).
Dalam hal tanggung
jawab pendidikan politik oleh partai politik, UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengaturnya
secara jelas. Pengaturannya antara lain partai politik harus memiliki anggaran
dasar yang memuat pendidikan politik (Pasal 2 ayat 4), Keuangan partai politik
yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi
anggota Partai Politik dan masyarakat (Pasal 34 ayat 3a) dan pendidikan politik
yang wajib dilakukan partai politik adalah kegiatan yang mengenai pendalaman
mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara; pemahaman mengenai hak dan
kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan
pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan (Pasal
34 ayat 3b). Bahkan, kampanye pemilu yang dilakukan partai politikpun merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung
jawab (Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2012).
Pemberian bantuan
keuangan kepada partai politik erat kaitannya dengan pendidikan politik oleh
partai politik. Hal ini menunjukkan pendidikan politik seharusnya mendapat
perhatian lebih dari partai politik. Menurut ketentuan PP No.5 Tahun 2009
tentang Bantuan Keuangan untuk Partai Politik, bantuan keuangan yang bersumber
dari APBN dan APBD diberikan kepada partai politik diberikan berdasarkan pada
jumlah perolehan suara hasil Pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota. Merujuk pada hasil perolehan suara pada pemilu 2009, besarnya dana APBN
untuk bantuan keuangan partai politik adalah sebesar Rp 9,1 Milyar (Data:
Kemendagri, 2009). Namun, dalam praktiknya sesuai dengan audit BPK tahun 2009,
partai politik lebih memakai dana tersebut untuk operasional partai dan
mengabaikan penggunaan untuk pendidikan politik. Padahal, jika melihat fungsi
partai politik sebagai pilar utama negara demokrasi, maka partai politik dapat
lebih aktif memberikan pencerahan kepada masyarakat, seperti melakukan diskusi
inklusif rutin dan seminar terbuka tentang isu-isu nasional secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, partai politik perlu melakukan penataan kembali
secara internal agar dapat secara optimal memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat.
Pemerintah sebagai
fasilitator dalam pemilu juga harus melakukan pendidikan politik kepada
masyarakat. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi pemilu kepada masyarakat
terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Kemudian,
pemberian motivasi yang baik kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu juga penting dilakukan untuk menghindari potensi golongan putih
(golput). Mahasiswa sebagai salah satu unsur masyarakat juga
dapat melakukan usaha pendidikan politik bersama dengan pemerintah dan unsur
masyarakat lainnya. Hal ini sangat potensial dilakukan mengingat mahasiswa
memiliki banyak kegiatan kreatif. Dengan, sinergisasi yang tepat diantara
ketiganya, maka mahasiswa mampu melakukan kegiatan pendidikan politik yang
menarik untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, utamanya kaum muda.
Dengan demikian, masyarakat akan semakin paham akan kedudukannya sebagai
pemegang kedaulatan dan tak akan tergoda dengan iming-iming materi atau hal-hal
lain yang merusak kehidupan demokrasi di Indonesia.
Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan
berkelanjutan adalah perencanaan dalam bidang lingkungan tanpa harus
mengorbankan tanpa harus mengorbankan peningkatan ekonomi dan sosial (Redclift,
1987). Hal ini berkaitan dengan lingkungan yang saling berhubungan, perubahan
lingkungan dan perkembangan ekonomi yang saling berkaitan, permasalahan
lingkungan dan ekonomi yang berkaitan erat dengan faktor sosial dan politik,
setiap perubahan dan permasalahan dalam suatu negara dapat berdampak pada
negara lainnya (Baker, 2006).
Pembangunan
berkelanjutan ini timbul sebagai respon terjadinya kerusakan lingkungan akibat
pembangunan. Dengan meningkatnya kesadaran global, maka pembangunan diarahkan
untuk penyelarasan antara sektor lingkungan, ekonomi, sosial, dan juga politik.
Di Indonesia, tolok ukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan menurut Prof.
Otto Soemarwoto diantaranya adalah pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin; pro
kesetaraan gender; pro penciptaan lapangan kerja; pro Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan anti korupsi, kolusi serta nepotisme.
Keberhasilan
pembangunan berkelanjutan ini juga berkaitan dengan pendidikan politik masyarakat.
Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat akan memberikan suaranya dalam
pemilu untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang benar-benar kompeten.
Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang dihasilkan oleh pemilu tersebut,
selanjutnya akan memimpin masyarakat dengan program-program pembangunan, tentu
pula yang tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah program pembangunan
berkelanjutan nasional. Dengan demikian, berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, khususnya yang menyangkut pelanggaran
hukum dapat diminimalisir dan pembangunan berkelanjutan nasional dapat berjalan
dengan baik serta manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia.
Depok, 8 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar