Halaman

Rabu, 29 Oktober 2014

Urgenitas Pendidikan Politik sebagai Penghubung antara Pemilu dan Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan Nasional

Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai hajatan pemilihan umum (Pemilu) banyak menghiasi media massa tanah air. Pemilu merupakan topik pemberitaan yang sedang hangat dewasa ini. Berbagai hal terkait pemilu tak luput menjadi sorotan media massa. Mulai dari pemberitaan mengenai tokoh-tokoh yang akan maju sebagai calon presiden atau wakil presiden, survei-survei mengenai elektabilitas calon presiden dan wakil presiden sampai pada permasalahan terkait hal teknis pelaksanaan pemilu, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap di Komisi Pemilu (Liputan6, 31 Oktober 2013). Berbagai permasalahan kompleks tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemilu di Indonesia.
            Sebagai negara demokrasi, pemilu di Indonesia memiliki berbagai peran yang sangat vital. Peran ini salah satunya berkaitan erat dengan suksesi kepemimpinan nasional dan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Setiap lima tahun sekali, masyarakat Indonesia melaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, seta wakil-wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota DPR RI ataupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini menunjukkan adanya partisipasi rakyat dalam hal pergantian kepemimpinan secara teratur, yang mana merupakan salah satu nilai yang mendasari demokrasi (Mayo, 1960: 218).
            Selain itu, dalam hal implementasi kedaulatan rakyat, menurut pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh pemerintah yang berdaulat haruslah dilaksanakan menurut konstitusi, karena pada dasarnya, negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsep negara hukum sendiri menurut kesepakatan para ahli hukum dalam Congress of Jurist di Bangkok pada tahun 1965, haruslah terdiri dari adanya proteksi konstitusional, adanya pengadilan yang merdeka, adanya pemilu yang bebas, adanya kebebasan menyatakan pendapat, adanya tugas oposisi dan adanya pendidikan kewarganegaraan (Azhari, 1995:31-60).
            Dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat, Undang-Undang memberi pengertian bahwa Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2012). Jika ditinjau dari definisi yang diberikan oleh UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, maka kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilu adalah pemegang kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan fungsinya masing-masing, yang mana kedaulatan ini harus dilaksanakan menurut konstitusi.
Edukasi Politik
            Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilakukan secara berkala. Dalam pelaksanaannya, berbagai kemeriahan ditunjukkan oleh para peserta pemilu, dalam hal ini partai politik untuk merebut hati masyarakat. Kemeriahan ini sarat dengan kepentingan-kepentingan partai politik yang dikemas melalui berbagai hiburan rakyat, sumbangan untuk masyarakat, simbol-simbol partai dan slogan-slogan yang hampir semuanya menyampaikan maksud “memperjuangkan nasib rakyat kecil”. Kemeriahan pesta demokrasi seperti ini, tidak berarti berjalan lancar tanpa masalah. Justru berbagai kemeriahan pesta demokrasi tersebut sangat berpotensi untuk melahirkan permasalahan, utamanya terkait money politics. Menurut ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, pengertian money politics adalah mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Bentuk money politics ini dapat berupa uang suap yang diberikan oleh peserta pemilu kepada pemilih dalam suatu pemilu untuk memilih peserta pemilu tertentu. Selain itu, intimidasi terhadap pemilih dan permasalahan teknis pelaksanaan pemilu lainnya membutuhkan sikap cerdas dan kritis masyarakat sebagai warga negara. Sikap cerdas dan kritis ini dapat dibentuk melalui pendidikan politik untuk masyarakat.
            Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pasal 1 Angka 4 UU No. 2 Tahun 2011). Dengan keterlibatannya dalam pemilu, masyarakat akan memiliki pengalaman tentang pelaksanaan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, masyarakat akan lebih memahami bahwa sebenarnya rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan suaranya dalam pemilu sangat menentukan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, timbul sikap cerdas dan kritis masyarakat dalam menghadapi pemilu sebagai akibat pemahamannya terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
            Pendidikan politik menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa Indonesia. Unsur-unsur pemilu, yakni partai politik, pemerintah, dan masyarakat hendaknya menyukseskan pendidikan politik ini. Terlebih untuk partai politik sebagai peserta pemilu, pendidikan politik sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini terkait dengan fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yang mana sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (Rush, 1992:92). Sosialisasi politik ini merupakan faktor penting dalam hal terbentuknya budaya politik suatu bangsa. Dalam konteks yang lebih luas, fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi politik ini mendukung fungsi partai politik lainnya, seperti partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik dan sebagai sarana pengatur konflik (Budiardjo,2008: 405-410).
            Dalam hal tanggung jawab pendidikan politik oleh partai politik, UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengaturnya secara jelas. Pengaturannya antara lain partai politik harus memiliki anggaran dasar yang memuat pendidikan politik (Pasal 2 ayat 4), Keuangan partai politik yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat (Pasal 34 ayat 3a) dan pendidikan politik yang wajib dilakukan partai politik adalah kegiatan yang mengenai pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara; pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan (Pasal 34 ayat 3b). Bahkan, kampanye pemilu yang dilakukan partai politikpun merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab (Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2012).
            Pemberian bantuan keuangan kepada partai politik erat kaitannya dengan pendidikan politik oleh partai politik. Hal ini menunjukkan pendidikan politik seharusnya mendapat perhatian lebih dari partai politik. Menurut ketentuan PP No.5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan untuk Partai Politik, bantuan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBD diberikan kepada partai politik diberikan berdasarkan pada jumlah perolehan suara hasil Pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Merujuk pada hasil perolehan suara pada pemilu 2009, besarnya dana APBN untuk bantuan keuangan partai politik adalah sebesar Rp 9,1 Milyar (Data: Kemendagri, 2009). Namun, dalam praktiknya sesuai dengan audit BPK tahun 2009, partai politik lebih memakai dana tersebut untuk operasional partai dan mengabaikan penggunaan untuk pendidikan politik. Padahal, jika melihat fungsi partai politik sebagai pilar utama negara demokrasi, maka partai politik dapat lebih aktif memberikan pencerahan kepada masyarakat, seperti melakukan diskusi inklusif rutin dan seminar terbuka tentang isu-isu nasional secara berkelanjutan. Oleh karena itu, partai politik perlu melakukan penataan kembali secara internal agar dapat secara optimal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
            Pemerintah sebagai fasilitator dalam pemilu juga harus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi pemilu kepada masyarakat terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Kemudian, pemberian motivasi yang baik kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dalam pemilu juga penting dilakukan untuk menghindari potensi golongan putih (golput). Mahasiswa sebagai salah satu unsur masyarakat juga dapat melakukan usaha pendidikan politik bersama dengan pemerintah dan unsur masyarakat lainnya. Hal ini sangat potensial dilakukan mengingat mahasiswa memiliki banyak kegiatan kreatif. Dengan, sinergisasi yang tepat diantara ketiganya, maka mahasiswa mampu melakukan kegiatan pendidikan politik yang menarik untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, utamanya kaum muda. Dengan demikian, masyarakat akan semakin paham akan kedudukannya sebagai pemegang kedaulatan dan tak akan tergoda dengan iming-iming materi atau hal-hal lain yang merusak kehidupan demokrasi di Indonesia.
Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan
            Pembangunan berkelanjutan adalah perencanaan dalam bidang lingkungan tanpa harus mengorbankan tanpa harus mengorbankan peningkatan ekonomi dan sosial (Redclift, 1987). Hal ini berkaitan dengan lingkungan yang saling berhubungan, perubahan lingkungan dan perkembangan ekonomi yang saling berkaitan, permasalahan lingkungan dan ekonomi yang berkaitan erat dengan faktor sosial dan politik, setiap perubahan dan permasalahan dalam suatu negara dapat berdampak pada negara lainnya (Baker, 2006).
            Pembangunan berkelanjutan ini timbul sebagai respon terjadinya kerusakan lingkungan akibat pembangunan. Dengan meningkatnya kesadaran global, maka pembangunan diarahkan untuk penyelarasan antara sektor lingkungan, ekonomi, sosial, dan juga politik. Di Indonesia, tolok ukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan menurut Prof. Otto Soemarwoto diantaranya adalah pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin; pro kesetaraan gender; pro penciptaan lapangan kerja; pro Negara Kesatuan Republik Indonesia dan anti korupsi, kolusi serta nepotisme.

            Keberhasilan pembangunan berkelanjutan ini juga berkaitan dengan pendidikan politik masyarakat. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat akan memberikan suaranya dalam pemilu untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang benar-benar kompeten. Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang dihasilkan oleh pemilu tersebut, selanjutnya akan memimpin masyarakat dengan program-program pembangunan, tentu pula yang tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah program pembangunan berkelanjutan nasional. Dengan demikian, berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, khususnya yang menyangkut pelanggaran hukum dapat diminimalisir dan pembangunan berkelanjutan nasional dapat berjalan dengan baik serta manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


Depok, 8 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar