Halaman

Rabu, 29 Oktober 2014

Pilkada Tak Langsung, Sebuah Sikap Politik Reaksioner ?

             Rakyat kembali disuguhi pertunjukan oleh para wakilnya. Sebuah pertunjukan sandiwara politik yang seru tapi tak lucu. Pertunjukan sandiwara politik berupa sidang paripurna RUU Pilkada yang ramai cenderung ricuh, dengan adu ngotot argumen para wakil rakyat disertai hujan interupsi yang seakan tak ada hentinya, hingga celotehan guyon para wakil rakyat yang sedang membahas masalah rakyat. Menanti keputusan sidang paripurna RUU Pilkada seakan menonton sebuah pertunjukan sandiwara dagelan, dengan anggota dewan yang menjadi lakonnya. Hasilnya, rakyat hanya bisa menyunggingkan senyum kecut atas sikap para wakilnya itu. Ya, keputusan sidang paripurna telah diketok palu, dengan demikian RUU Pilkada sah menjadi undang-undang.
            Pada dasarnya menurut ketentuan konstitusi,  pihak yang berhak mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan presiden adalah presiden. Hal ini diatur dalam pasal 20 ayat 4 UUD 1945. Dalam dinamika politik yang berkembang akhir-akhir ini, terlihat presiden tak sependapat dengan disetujuinya RUU Pilkada tersebut. Dalam pernyataannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan kecewa dengan hasil dan proses politik di DPR, tetapi tetap menghormati proses politik itu sebagai seorang demokrat. Presiden juga menyatakan keberatan untuk menandatangani UU Pilkada yang memutuskan Pilkada melalui DPRD kalau masih punya konflik dengan UU lain (detiknews, 26 September 2014). Namun demikian, menurut ketentuan pasal 20 ayat 5 UUD 1945 “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Hal ini menjadikan RUU Pilkada tersebut tetap sah menjadi UU pilkada, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengesahkannya.
            Sebagaimana pernyataan Presiden, konflik UU Pilkada dengan UU lain juga patut untuk dicermati. Hal ini penting dalam pelaksanaan UU itu sendiri, dalam artian harus ada sinkronisasi antar berbagai UU dalam hal pelaksanaan suatu kebijakan, sehingga sulit untuk mengeksekusi pelaksanaan suatu UU jika masih bertentangan dengan UU yang lain. Dalam hal ini UU Pilkada berkonflik dengan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang baru saja disahkan. Dalam ketentuan pasal 322 UU MD3 hak DPRD provinsi terdiri dari hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Begitupun dalam pasal 371 UU MD3 juga diakui bahwa DPRD kabupaten/kota memiliki hak yang sama dengan DPRD Provinsi, yakni hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Padahal dalam draft RUU Pilkada yang disetujui, kepala daerah dipilih oleh DPRD secara demokratis. Hal ini juga ditambah dengan kekhususan berbagai provinsi yang memiliki pengaturan sendiri tentang kepala daerahnya, diantaranya provinsi DKI Jakarta dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua  dalam Perppu No 1 Tahun 2008 yang disahkan dalam UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, provinsi DI Yogyakarta dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah Pemilukada
            Euforia reformasi 1998 telah membawa perubahan besar di Indonesia. Utamanya dalam bidang politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pintu demokrasi terbuka lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, yang mana menjadikan hak-hak rakyat Indonesia semakin diakui dan dijamin oleh konstitusi. Rakyat Indonesia dijamin dan diberi kesempatan luas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
            Tak ingin mengulangi kekurangan-kekurangan dalam zaman orde baru, dimana kekuasaan terlalu terpusat dan sentralistik, maka diperbesarlah kewenangan pemerintah daerah melalui desentraliasi kekuasaan. Dengan desentralisasi, berarti juga kewenangan daerah semakin besar dalam mengusrus dirinya sendiri, maka kewenangan kepala daerah juga semakin besar. Dalam hal ini posisi kepala daerah menjadi menarik karena merupakan penentu kebijakan daerah disamping DPRD tentunya.
Dimulai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang dalam hal ini gubernur, bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Pada masa ini, kekuasaan kepala daerah yang besar seakan tanpa ada koordinasi antara gubernur dengan bupati/walikota. Pun, kepala daerah yang dipilih kurang sesuai dengan kehendak rakyat, sehingga diadakan penyempurnaan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam ketentuan pasal 24 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Hal ini menandai suatu era baru dalam demokrasi Indonesia, dimana rakyat diberi kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, tidak hanya presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD, namun juga pemimpin di level daerah, yakni gubernur dan bupati/walikota.
Pada dasarnya menurut ketentuan konstitusi pasal 22 E UUD 1945, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Oleh karenanya, jika dlihat secara tekstual, pemilihan kepala daerah tidak termasuk rezim pemilu. Akan tetapi, dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945, Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dalam hal ini, kepala daerah dapat dipilih langsung oleh rakyat atau melalui wakil-wakilnya DPRD, karena kedua cara tersebut sama-sama demokratis.
Pemilihan kepala daerah masuk menjadi rezim pemilu setelah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Hal ini berdasarkan konsep pada UU No.32 Tahun 2004 dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, perubahan rezim hukum ini juga berakibat pada penyebutan proses pemilihan kepala daerah ini menjadi pemilihan umm kepala daerah (pemilukada). Dengan masuknya pemilukada dalam rezim pemilu, maka penyelesaian sengketanyapun masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, berdasarkan dinamika politik yang terjadi, maka MK mengeluarkan putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengakhiri kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilukada, namun kewenangan sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang pengganti.
Demokrasi Maju-Mundur
            Dalam usianya yang ke 69 ini bangsa Indonesia masih mencari bentuk demokrasi yang ideal. Berbagai bentuk demokrasi pernah mewarnai negeri ini, diantaranya demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila versi orde baru, dan demokrasi reformasi. Dalam realitanya, berbagai bentuk demokrasi itu, melahirkan berbagai kebaikan juga kekurangannya masing-masing dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 69 tahun ini.
            Dewasa ini, bangsa Indonesia menikmati demokrasi hasil reformasi 1998 tersebut. Hasillnyapun dapat disaksikan oleh semua rakyat Indonesia, diantaranya Hak Asasi Manusia rakyat Indonesia yang semakin kuat, kebebasan dalam segala bidang kehidupan masyarakat.Walaupun, tak dapat dipungkiri pula juga tak sedikit ekses negatif reformasi 1998 ini yang memerluan perbaikan. Begitupun dalam hal ini, pada dasarnya pemilukada juga merupakan hasil dari reformasi 1998 tersebut.
Dengan berbagai dinamikanya, pemilihan kepala daerah dapat diikuti secara langsung oleh masyarakat, yang secara aktif memberikan suaranya untuk menentukan kepala daerah yang mereka pilih. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan esensi dari demokrasi itu sendiri, yakni pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Setidaknya, dari hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung lebih mendekati konsep ini. Walaupun, tak dapat dipungkiri lagi, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya.
Sebenarnya dalam konsep kedaulatan rakyat itu sendiri, pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau secara langsung oleh rakyat sama-sama tak mengurangi esensi dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Menurut Afan Gaffar, indkator demokrasi ada lima yakni, akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum dan pemenuhan hak-hak dasar. Dalam hal ini, dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, masyarakat diberikan porsi lebih besar dalam menentukan pemimpinnya di daerah. Hal ini tentu meningkatkan patisipasi masyarakat dalam bidang politk, yang mana hal ini tentu merupakan sebuah indikator demokrasi yang semakin maju.
Dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung ini, kepala daerah yang dipilih dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini tentu lebih baik dalam hal pendidikan politik bagi masyarakat, jika dilakukan sesuai dengan sistem yang terbangun. Kecuali biaya politik yang besar dan potensi konflik sosial dalam masyarakat, Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih dikhawatirkan akan tersandera oleh transaksi-transaksi elit politik, yang mana rakyat dalam level akar rumput hanya bisa menontonnya tanpa bisa menghentikannya, oleh karena keputusan dalam memilih kepala daerah tetap berada dalam kewenangan DPRD.
Pasca persetujuan RUU Pilkada menjadi UU dapat dikatakan bahwa kehidupan demokrasi bangsa Indonesia mundur. Oleh karena hak politik rakyat dalam menentukan pemimpinnya secara langsung di daerah dipangkas dengan adanya UU ini. Walaupun, pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga merupakan sebuah hal yang demokratis dan mencerminkan kedaulatan rakyat, namun jangan dilupakan bahwa sebelumnya kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia semakin menuju ke arah yang lebih baik dengan memilih kepala daerah secara langsung. Begitupun, hasilnya banyak pemimpin daerah yang berprestasi dan sesuai dengan kehendak masyarakat. Sungguh ironis, dengan niat ingin memperbaiki kehidupan demokrasi dan perpolitikan bangsa ini, UU Pilkada justru memundurkan demokrasi dengan memangkas hak politik rakyat Indonesia untuk memilih kepala daerah. Kiranya akan lebih bijaksana, jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang banyak juga kekurangannya, dilakukan perbaikan tanpa memangkas hak politik rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya, bukan malah mengembalikannya ke dalam keadaan sebelumnya.
Sikap Politik Reaksioner
            Undang undang dapat dimengerti sebagai sebuah produk hukum, yang mana didalamnya terdapat pertarungan berbagai kepentingan. Dalam banyak hal, kepentingan itu diantaranya kepentingan modal, kepentingan politik, kepentingan konstituen dan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, undang-undang sebagai keputusan politik yang disahkan menjadi hukum positif untuk seluruh rakyat, tak lepas dari adanya lobi-lobi politik para pembentuknya, yakni para legislator yang notabene wakil-wakil rakyat di parlemen.
            Begitupun dalam UU Pilkada ini, pertarungan kepentingan begitu terlihat. Hal ini ditandai dengan banyaknya lobi-lobi politik fraksi dalam DPR dalam hal persetujuan UU ini.  Namun, sayangnya keputusannya cenderung bersifat reaksioner. Oleh karena, dengan UU ini dapat dikatakan dapat menghalangi kemajuan demokrasi masyarakat selama ini dan mengembalikannya ke keadaan sebelumnya. Begitupun dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, DPR bertindak secara reaktif dengan langsung saja memberikan keputusan mengembalikan kewenangan tersebut ke tangan DPRD, tanpa adanya perbaikan terhadap sistem yang telah berjalan, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kemunduran demokrasi.

            Kini perhatian masyarakat akan tertuju ke MK, menyusul pernyataan berbagai pihak yang akan melakukan judicial review terhadap UU Pilkada. Dengan salah satu fungsinya sebagai penegak demokrasi, MK diharapkan mampu menegakkan demokrasi yang hakiki bagi Indonesia. Namun, terlepas dari itu, sebagai warga negara yang baik, hendaknya masyarakat tetap menghormati UU Pilkada ini sebagai sebuah produk hukum dan keputusan politik dari para wakil rakyatnya di parlemen. Dengan demikian, bangsa Indonesia tetap aman tenteram dan demokrasi bangsa ini dapat semakin maju. 

1 komentar: