Rakyat kembali disuguhi pertunjukan oleh
para wakilnya. Sebuah pertunjukan sandiwara politik yang seru tapi tak lucu.
Pertunjukan sandiwara politik berupa sidang paripurna RUU Pilkada yang ramai
cenderung ricuh, dengan adu ngotot argumen para wakil rakyat disertai hujan
interupsi yang seakan tak ada hentinya, hingga celotehan guyon para wakil rakyat yang sedang membahas masalah rakyat.
Menanti keputusan sidang paripurna RUU Pilkada seakan menonton sebuah
pertunjukan sandiwara dagelan, dengan anggota dewan yang menjadi lakonnya.
Hasilnya, rakyat hanya bisa menyunggingkan senyum kecut atas sikap para wakilnya
itu. Ya, keputusan sidang paripurna telah diketok palu, dengan demikian RUU
Pilkada sah menjadi undang-undang.
Pada dasarnya menurut ketentuan
konstitusi, pihak yang berhak
mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan
presiden adalah presiden. Hal ini diatur dalam pasal 20 ayat 4 UUD 1945. Dalam
dinamika politik yang berkembang akhir-akhir ini, terlihat presiden tak
sependapat dengan disetujuinya RUU Pilkada tersebut. Dalam pernyataannya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan
kecewa dengan hasil dan proses politik di DPR, tetapi tetap menghormati proses
politik itu sebagai seorang demokrat. Presiden juga menyatakan keberatan untuk
menandatangani UU Pilkada yang memutuskan Pilkada melalui DPRD kalau masih
punya konflik dengan UU lain (detiknews, 26 September 2014). Namun
demikian, menurut ketentuan pasal 20 ayat 5 UUD 1945 “Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan”. Hal ini menjadikan RUU Pilkada tersebut tetap sah menjadi UU
pilkada, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengesahkannya.
Sebagaimana pernyataan Presiden,
konflik UU Pilkada dengan UU lain juga patut untuk dicermati. Hal ini penting
dalam pelaksanaan UU itu sendiri, dalam artian harus ada sinkronisasi antar
berbagai UU dalam hal pelaksanaan suatu kebijakan, sehingga sulit untuk
mengeksekusi pelaksanaan suatu UU jika masih bertentangan dengan UU yang lain.
Dalam hal ini UU Pilkada berkonflik dengan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang baru saja disahkan. Dalam
ketentuan pasal 322 UU MD3 hak DPRD provinsi terdiri dari hak interpelasi,
angket dan menyatakan pendapat. Begitupun dalam pasal 371 UU MD3 juga diakui
bahwa DPRD kabupaten/kota memiliki hak yang sama dengan DPRD Provinsi, yakni
hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Padahal dalam draft RUU
Pilkada yang disetujui, kepala daerah dipilih oleh DPRD secara demokratis. Hal
ini juga ditambah dengan kekhususan berbagai provinsi yang memiliki pengaturan
sendiri tentang kepala daerahnya, diantaranya provinsi DKI Jakarta dalam UU No.
29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua dalam Perppu No 1 Tahun 2008 yang disahkan dalam UU No. 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, provinsi DI Yogyakarta dalam
UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah Pemilukada
Euforia
reformasi 1998 telah membawa perubahan besar di Indonesia. Utamanya dalam
bidang politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pintu demokrasi terbuka
lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya amandemen
UUD 1945, yang mana menjadikan hak-hak rakyat Indonesia semakin diakui dan
dijamin oleh konstitusi. Rakyat Indonesia dijamin dan diberi kesempatan luas
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tak ingin mengulangi
kekurangan-kekurangan dalam zaman orde baru, dimana kekuasaan terlalu terpusat
dan sentralistik, maka diperbesarlah kewenangan pemerintah daerah melalui desentraliasi
kekuasaan. Dengan desentralisasi, berarti juga kewenangan daerah semakin besar
dalam mengusrus dirinya sendiri, maka kewenangan kepala daerah juga semakin
besar. Dalam hal ini posisi kepala daerah menjadi menarik karena merupakan
penentu kebijakan daerah disamping DPRD tentunya.
Dimulai
dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah yang dalam hal ini gubernur, bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Pada
masa ini, kekuasaan kepala daerah yang besar seakan tanpa ada koordinasi antara
gubernur dengan bupati/walikota. Pun, kepala daerah yang dipilih kurang sesuai
dengan kehendak rakyat, sehingga diadakan penyempurnaan melalui UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
ketentuan pasal 24 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Hal ini
menandai suatu era baru dalam demokrasi Indonesia, dimana rakyat diberi
kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, tidak hanya presiden,
anggota DPR, DPD dan DPRD, namun juga pemimpin di level daerah, yakni gubernur
dan bupati/walikota.
Pada
dasarnya menurut ketentuan konstitusi pasal 22 E UUD 1945, pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan
DPRD. Oleh karenanya, jika dlihat secara tekstual, pemilihan kepala daerah
tidak termasuk rezim pemilu. Akan tetapi, dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945,
Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dalam hal ini, kepala
daerah dapat dipilih langsung oleh rakyat atau melalui wakil-wakilnya DPRD,
karena kedua cara tersebut sama-sama demokratis.
Pemilihan
kepala daerah masuk menjadi rezim pemilu setelah dikeluarkannya UU No.22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Hal ini berdasarkan konsep pada UU No.32
Tahun 2004 dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh
karena itu, perubahan rezim hukum ini juga berakibat pada penyebutan proses
pemilihan kepala daerah ini menjadi pemilihan umm kepala daerah (pemilukada).
Dengan masuknya pemilukada dalam rezim pemilu, maka penyelesaian sengketanyapun
masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, berdasarkan dinamika
politik yang terjadi, maka MK mengeluarkan putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengakhiri
kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilukada, namun kewenangan
sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang
pengganti.
Demokrasi Maju-Mundur
Dalam usianya yang ke 69 ini bangsa
Indonesia masih mencari bentuk demokrasi yang ideal. Berbagai bentuk demokrasi
pernah mewarnai negeri ini, diantaranya demokrasi liberal, demokrasi terpimpin,
demokrasi pancasila versi orde baru, dan demokrasi reformasi. Dalam realitanya,
berbagai bentuk demokrasi itu, melahirkan berbagai kebaikan juga kekurangannya
masing-masing dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 69 tahun ini.
Dewasa ini, bangsa Indonesia
menikmati demokrasi hasil reformasi 1998 tersebut. Hasillnyapun dapat
disaksikan oleh semua rakyat Indonesia, diantaranya Hak Asasi Manusia rakyat
Indonesia yang semakin kuat, kebebasan dalam segala bidang kehidupan
masyarakat.Walaupun, tak dapat dipungkiri pula juga tak sedikit ekses negatif
reformasi 1998 ini yang memerluan perbaikan. Begitupun dalam hal ini, pada
dasarnya pemilukada juga merupakan hasil dari reformasi 1998 tersebut.
Dengan
berbagai dinamikanya, pemilihan kepala daerah dapat diikuti secara langsung
oleh masyarakat, yang secara aktif memberikan suaranya untuk menentukan kepala
daerah yang mereka pilih. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan esensi dari
demokrasi itu sendiri, yakni pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh
rakyat. Setidaknya, dari hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung lebih
mendekati konsep ini. Walaupun, tak dapat dipungkiri lagi, masih banyak
kekurangan dalam pelaksanaannya.
Sebenarnya
dalam konsep kedaulatan rakyat itu sendiri, pemilihan kepala daerah oleh DPRD
atau secara langsung oleh rakyat sama-sama tak mengurangi esensi dari
kedaulatan rakyat itu sendiri. Menurut Afan Gaffar, indkator demokrasi ada lima
yakni, akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka,
pemilihan umum dan pemenuhan hak-hak dasar. Dalam hal ini, dalam pemilihan
kepala daerah secara langsung, masyarakat diberikan porsi lebih besar dalam
menentukan pemimpinnya di daerah. Hal ini tentu meningkatkan patisipasi
masyarakat dalam bidang politk, yang mana hal ini tentu merupakan sebuah
indikator demokrasi yang semakin maju.
Dalam
sistem pemilihan kepala daerah secara langsung ini, kepala daerah yang dipilih
dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini tentu lebih baik dalam hal
pendidikan politik bagi masyarakat, jika dilakukan sesuai dengan sistem yang
terbangun. Kecuali biaya politik yang besar dan potensi konflik sosial dalam
masyarakat, Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih dikhawatirkan akan
tersandera oleh transaksi-transaksi elit politik, yang mana rakyat dalam level
akar rumput hanya bisa menontonnya tanpa bisa menghentikannya, oleh karena
keputusan dalam memilih kepala daerah tetap berada dalam kewenangan DPRD.
Pasca
persetujuan RUU Pilkada menjadi UU dapat dikatakan bahwa kehidupan demokrasi
bangsa Indonesia mundur. Oleh karena hak politik rakyat dalam menentukan
pemimpinnya secara langsung di daerah dipangkas dengan adanya UU ini. Walaupun,
pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga merupakan sebuah hal yang demokratis dan
mencerminkan kedaulatan rakyat, namun jangan dilupakan bahwa sebelumnya
kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia semakin menuju ke arah yang lebih baik
dengan memilih kepala daerah secara langsung. Begitupun, hasilnya banyak
pemimpin daerah yang berprestasi dan sesuai dengan kehendak masyarakat. Sungguh
ironis, dengan niat ingin memperbaiki kehidupan demokrasi dan perpolitikan
bangsa ini, UU Pilkada justru memundurkan demokrasi dengan memangkas hak
politik rakyat Indonesia untuk memilih kepala daerah. Kiranya akan lebih
bijaksana, jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang banyak
juga kekurangannya, dilakukan perbaikan tanpa memangkas hak politik rakyat
dalam menentukan pemimpin daerahnya, bukan malah mengembalikannya ke dalam
keadaan sebelumnya.
Sikap Politik Reaksioner
Undang undang dapat dimengerti
sebagai sebuah produk hukum, yang mana didalamnya terdapat pertarungan berbagai
kepentingan. Dalam banyak hal, kepentingan itu diantaranya kepentingan modal,
kepentingan politik, kepentingan konstituen dan kepentingan rakyat. Oleh karena
itu, undang-undang sebagai keputusan politik yang disahkan menjadi hukum
positif untuk seluruh rakyat, tak lepas dari adanya lobi-lobi politik para
pembentuknya, yakni para legislator yang notabene wakil-wakil rakyat di
parlemen.
Begitupun dalam UU Pilkada ini,
pertarungan kepentingan begitu terlihat. Hal ini ditandai dengan banyaknya
lobi-lobi politik fraksi dalam DPR dalam hal persetujuan UU ini. Namun, sayangnya keputusannya cenderung
bersifat reaksioner. Oleh karena, dengan UU ini dapat dikatakan dapat
menghalangi kemajuan demokrasi masyarakat selama ini dan mengembalikannya ke
keadaan sebelumnya. Begitupun dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung, DPR bertindak secara reaktif dengan
langsung saja memberikan keputusan mengembalikan kewenangan tersebut ke tangan
DPRD, tanpa adanya perbaikan terhadap sistem yang telah berjalan, sehingga hal
ini dapat dikatakan sebagai sebuah kemunduran demokrasi.
Kini perhatian masyarakat akan tertuju
ke MK, menyusul pernyataan berbagai pihak yang akan melakukan judicial review terhadap UU Pilkada. Dengan
salah satu fungsinya sebagai penegak demokrasi, MK diharapkan mampu menegakkan
demokrasi yang hakiki bagi Indonesia. Namun, terlepas dari itu, sebagai warga
negara yang baik, hendaknya masyarakat tetap menghormati UU Pilkada ini sebagai
sebuah produk hukum dan keputusan politik dari para wakil rakyatnya di
parlemen. Dengan demikian, bangsa Indonesia tetap aman tenteram dan demokrasi
bangsa ini dapat semakin maju.
thanks buat artikelnya! :)
BalasHapus