Halaman

Rabu, 29 Oktober 2014

Gencatan Senjata Israel-Palestina Mengawali Perdamaian, Mungkinkah ?

Gencatan senjata permanen antara Israel dan kelompok militan Hamas Palestina telah disepakati kedua belah pihak. Kesepakatan ini mulai berlaku pada tanggal 27 Agustus 2014. Peristiwa yang berlangsung atas sponsor Mesir ini mengakhiri peperangan terbaru antara kedua negara yang menewaskan lebih dari 2000 orang warga sipil Palestina. Sementara itu, di pihak Israel tedapat 68 orang tewas yang tediri dari para prajurit miiter dan hanya empat warga Israel yang kehilangan nyawa. Peperangan yang berlansung selama tujuh pekan ini juga mengakibatkan lebih dari 17.000 rumah di kawasan Jalur Gaza hancur dan rusak akibat serangan militer Israel.
            Namun, dengan adanya kesepakatan gencatan senjata permanen ini, bukan berarti perdamaian abadi di tanah Palestina segera terjadi. Masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak dalam mewujudkan perdamaian. Dalam perundingan gencatan senjata tersebut, tuntutan dari kedua belah pihak yang menyangkut isu sensitif masih ditunda pembahasannya, diantaranya tuntutan kelompok Hamas agar dibangun sebuah pelabuhan laut, bandar udara di kota Gaza dan pembebasan sekitar 100 narapidana. Sedangkan, Israel menuntut demiliterisasi Hamas dan meminta jaminan dari Hamas supaya tidak ada lagi senjata yang diselundupkan menuju ke Gaza
            Sementara itu, perkembangan mutakhir menunjukkan tidak adanya itikad baik dari Israel untuk mewujudkan perdamaian. Hal ini ditunjukkan dengan adanya upaya dari Israel untuk merampas tanah Palestina seluas 400 hektar di wilayah tepi barat. Upaya ini jelas merupakan langkah kontraproduktif dengan upaya perdamaian yang selama ini tengah dibangun. Protes internasionalpun dilancarkan atas rencana Israel ini, diantaranya protes dari Sekjen PBB Ban Ki Mon yang menyebut langkah ini sebagai pendahuluan pembangunan distrik-distrik baru Zionis. Sekjen PBB mengumumkan bahwa pembangunan pemukiman-pemukiman baru Zionis di Tepi Barat bertentangan dengan hukum internasional. Sementara itu Menlu Inggris Phillip Hammond menyatakan bahwa Pembangunan pemukiman-pemukiman baru, bukan hanya melanggar aturan internasional, tetapi juga menjadi rintangan serius di jalan perundingan guna mencapai kesepakatan antara Israel dan Palestina. Sedangkan, Menlu Amerika Serikat John Kerry melalui juru bicaranya menyatakan bahwa Perampasan tanah ini memunculkan sebuah sinyal yang dapat mengganggu upaya damai antara Israel dan Palestina, hal ini bisa kembali meruntuhkan gencatan senjata yang baru saja dicapai. Namun, dewasa ini perkembangan di tepi barat tak menunjukkan Israel menghentikan langkah ini, tetapi malah meneruskannya dengan aksi penghancuran rumah warga di daerah Hebron.
            Dalam sejarahnya, Israel telah berulangkali mencaplok tanah bangsa Arab utamanya Palestina melalui berbagai peperangan, diantaranya Perang Arab-Israel 1948, Perang enam hari 1967, perang Yom Kippur 1973 dan berbagai peperangan lainnya. Hal ini mengakibatkan wilayah Israel semakin luas dari keadaan awalnya pada tahun 1948. Nampaknya, hal ini berulang dan jalan menuju perdamian di tanah Palestina masih panjang.

Dari sumber :
Sindonews, 2 september 2014
Sindones, 3 September 2014
BBC indonesia 26 agustus 2014
Viva news 27 Agustus 2014  



 Depok, 4 September 2014

Urgenitas Pendidikan Politik sebagai Penghubung antara Pemilu dan Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan Nasional

Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai hajatan pemilihan umum (Pemilu) banyak menghiasi media massa tanah air. Pemilu merupakan topik pemberitaan yang sedang hangat dewasa ini. Berbagai hal terkait pemilu tak luput menjadi sorotan media massa. Mulai dari pemberitaan mengenai tokoh-tokoh yang akan maju sebagai calon presiden atau wakil presiden, survei-survei mengenai elektabilitas calon presiden dan wakil presiden sampai pada permasalahan terkait hal teknis pelaksanaan pemilu, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap di Komisi Pemilu (Liputan6, 31 Oktober 2013). Berbagai permasalahan kompleks tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemilu di Indonesia.
            Sebagai negara demokrasi, pemilu di Indonesia memiliki berbagai peran yang sangat vital. Peran ini salah satunya berkaitan erat dengan suksesi kepemimpinan nasional dan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Setiap lima tahun sekali, masyarakat Indonesia melaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, seta wakil-wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota DPR RI ataupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini menunjukkan adanya partisipasi rakyat dalam hal pergantian kepemimpinan secara teratur, yang mana merupakan salah satu nilai yang mendasari demokrasi (Mayo, 1960: 218).
            Selain itu, dalam hal implementasi kedaulatan rakyat, menurut pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh pemerintah yang berdaulat haruslah dilaksanakan menurut konstitusi, karena pada dasarnya, negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsep negara hukum sendiri menurut kesepakatan para ahli hukum dalam Congress of Jurist di Bangkok pada tahun 1965, haruslah terdiri dari adanya proteksi konstitusional, adanya pengadilan yang merdeka, adanya pemilu yang bebas, adanya kebebasan menyatakan pendapat, adanya tugas oposisi dan adanya pendidikan kewarganegaraan (Azhari, 1995:31-60).
            Dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat, Undang-Undang memberi pengertian bahwa Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2012). Jika ditinjau dari definisi yang diberikan oleh UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, maka kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilu adalah pemegang kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan fungsinya masing-masing, yang mana kedaulatan ini harus dilaksanakan menurut konstitusi.
Edukasi Politik
            Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilakukan secara berkala. Dalam pelaksanaannya, berbagai kemeriahan ditunjukkan oleh para peserta pemilu, dalam hal ini partai politik untuk merebut hati masyarakat. Kemeriahan ini sarat dengan kepentingan-kepentingan partai politik yang dikemas melalui berbagai hiburan rakyat, sumbangan untuk masyarakat, simbol-simbol partai dan slogan-slogan yang hampir semuanya menyampaikan maksud “memperjuangkan nasib rakyat kecil”. Kemeriahan pesta demokrasi seperti ini, tidak berarti berjalan lancar tanpa masalah. Justru berbagai kemeriahan pesta demokrasi tersebut sangat berpotensi untuk melahirkan permasalahan, utamanya terkait money politics. Menurut ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, pengertian money politics adalah mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Bentuk money politics ini dapat berupa uang suap yang diberikan oleh peserta pemilu kepada pemilih dalam suatu pemilu untuk memilih peserta pemilu tertentu. Selain itu, intimidasi terhadap pemilih dan permasalahan teknis pelaksanaan pemilu lainnya membutuhkan sikap cerdas dan kritis masyarakat sebagai warga negara. Sikap cerdas dan kritis ini dapat dibentuk melalui pendidikan politik untuk masyarakat.
            Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pasal 1 Angka 4 UU No. 2 Tahun 2011). Dengan keterlibatannya dalam pemilu, masyarakat akan memiliki pengalaman tentang pelaksanaan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, masyarakat akan lebih memahami bahwa sebenarnya rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan suaranya dalam pemilu sangat menentukan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, timbul sikap cerdas dan kritis masyarakat dalam menghadapi pemilu sebagai akibat pemahamannya terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
            Pendidikan politik menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa Indonesia. Unsur-unsur pemilu, yakni partai politik, pemerintah, dan masyarakat hendaknya menyukseskan pendidikan politik ini. Terlebih untuk partai politik sebagai peserta pemilu, pendidikan politik sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini terkait dengan fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yang mana sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (Rush, 1992:92). Sosialisasi politik ini merupakan faktor penting dalam hal terbentuknya budaya politik suatu bangsa. Dalam konteks yang lebih luas, fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi politik ini mendukung fungsi partai politik lainnya, seperti partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik dan sebagai sarana pengatur konflik (Budiardjo,2008: 405-410).
            Dalam hal tanggung jawab pendidikan politik oleh partai politik, UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengaturnya secara jelas. Pengaturannya antara lain partai politik harus memiliki anggaran dasar yang memuat pendidikan politik (Pasal 2 ayat 4), Keuangan partai politik yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat (Pasal 34 ayat 3a) dan pendidikan politik yang wajib dilakukan partai politik adalah kegiatan yang mengenai pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara; pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan (Pasal 34 ayat 3b). Bahkan, kampanye pemilu yang dilakukan partai politikpun merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab (Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2012).
            Pemberian bantuan keuangan kepada partai politik erat kaitannya dengan pendidikan politik oleh partai politik. Hal ini menunjukkan pendidikan politik seharusnya mendapat perhatian lebih dari partai politik. Menurut ketentuan PP No.5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan untuk Partai Politik, bantuan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBD diberikan kepada partai politik diberikan berdasarkan pada jumlah perolehan suara hasil Pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Merujuk pada hasil perolehan suara pada pemilu 2009, besarnya dana APBN untuk bantuan keuangan partai politik adalah sebesar Rp 9,1 Milyar (Data: Kemendagri, 2009). Namun, dalam praktiknya sesuai dengan audit BPK tahun 2009, partai politik lebih memakai dana tersebut untuk operasional partai dan mengabaikan penggunaan untuk pendidikan politik. Padahal, jika melihat fungsi partai politik sebagai pilar utama negara demokrasi, maka partai politik dapat lebih aktif memberikan pencerahan kepada masyarakat, seperti melakukan diskusi inklusif rutin dan seminar terbuka tentang isu-isu nasional secara berkelanjutan. Oleh karena itu, partai politik perlu melakukan penataan kembali secara internal agar dapat secara optimal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
            Pemerintah sebagai fasilitator dalam pemilu juga harus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi pemilu kepada masyarakat terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Kemudian, pemberian motivasi yang baik kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dalam pemilu juga penting dilakukan untuk menghindari potensi golongan putih (golput). Mahasiswa sebagai salah satu unsur masyarakat juga dapat melakukan usaha pendidikan politik bersama dengan pemerintah dan unsur masyarakat lainnya. Hal ini sangat potensial dilakukan mengingat mahasiswa memiliki banyak kegiatan kreatif. Dengan, sinergisasi yang tepat diantara ketiganya, maka mahasiswa mampu melakukan kegiatan pendidikan politik yang menarik untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, utamanya kaum muda. Dengan demikian, masyarakat akan semakin paham akan kedudukannya sebagai pemegang kedaulatan dan tak akan tergoda dengan iming-iming materi atau hal-hal lain yang merusak kehidupan demokrasi di Indonesia.
Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan
            Pembangunan berkelanjutan adalah perencanaan dalam bidang lingkungan tanpa harus mengorbankan tanpa harus mengorbankan peningkatan ekonomi dan sosial (Redclift, 1987). Hal ini berkaitan dengan lingkungan yang saling berhubungan, perubahan lingkungan dan perkembangan ekonomi yang saling berkaitan, permasalahan lingkungan dan ekonomi yang berkaitan erat dengan faktor sosial dan politik, setiap perubahan dan permasalahan dalam suatu negara dapat berdampak pada negara lainnya (Baker, 2006).
            Pembangunan berkelanjutan ini timbul sebagai respon terjadinya kerusakan lingkungan akibat pembangunan. Dengan meningkatnya kesadaran global, maka pembangunan diarahkan untuk penyelarasan antara sektor lingkungan, ekonomi, sosial, dan juga politik. Di Indonesia, tolok ukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan menurut Prof. Otto Soemarwoto diantaranya adalah pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin; pro kesetaraan gender; pro penciptaan lapangan kerja; pro Negara Kesatuan Republik Indonesia dan anti korupsi, kolusi serta nepotisme.

            Keberhasilan pembangunan berkelanjutan ini juga berkaitan dengan pendidikan politik masyarakat. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat akan memberikan suaranya dalam pemilu untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang benar-benar kompeten. Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang dihasilkan oleh pemilu tersebut, selanjutnya akan memimpin masyarakat dengan program-program pembangunan, tentu pula yang tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah program pembangunan berkelanjutan nasional. Dengan demikian, berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, khususnya yang menyangkut pelanggaran hukum dapat diminimalisir dan pembangunan berkelanjutan nasional dapat berjalan dengan baik serta manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


Depok, 8 November 2013

Pilkada Tak Langsung, Sebuah Sikap Politik Reaksioner ?

             Rakyat kembali disuguhi pertunjukan oleh para wakilnya. Sebuah pertunjukan sandiwara politik yang seru tapi tak lucu. Pertunjukan sandiwara politik berupa sidang paripurna RUU Pilkada yang ramai cenderung ricuh, dengan adu ngotot argumen para wakil rakyat disertai hujan interupsi yang seakan tak ada hentinya, hingga celotehan guyon para wakil rakyat yang sedang membahas masalah rakyat. Menanti keputusan sidang paripurna RUU Pilkada seakan menonton sebuah pertunjukan sandiwara dagelan, dengan anggota dewan yang menjadi lakonnya. Hasilnya, rakyat hanya bisa menyunggingkan senyum kecut atas sikap para wakilnya itu. Ya, keputusan sidang paripurna telah diketok palu, dengan demikian RUU Pilkada sah menjadi undang-undang.
            Pada dasarnya menurut ketentuan konstitusi,  pihak yang berhak mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan presiden adalah presiden. Hal ini diatur dalam pasal 20 ayat 4 UUD 1945. Dalam dinamika politik yang berkembang akhir-akhir ini, terlihat presiden tak sependapat dengan disetujuinya RUU Pilkada tersebut. Dalam pernyataannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan kecewa dengan hasil dan proses politik di DPR, tetapi tetap menghormati proses politik itu sebagai seorang demokrat. Presiden juga menyatakan keberatan untuk menandatangani UU Pilkada yang memutuskan Pilkada melalui DPRD kalau masih punya konflik dengan UU lain (detiknews, 26 September 2014). Namun demikian, menurut ketentuan pasal 20 ayat 5 UUD 1945 “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Hal ini menjadikan RUU Pilkada tersebut tetap sah menjadi UU pilkada, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengesahkannya.
            Sebagaimana pernyataan Presiden, konflik UU Pilkada dengan UU lain juga patut untuk dicermati. Hal ini penting dalam pelaksanaan UU itu sendiri, dalam artian harus ada sinkronisasi antar berbagai UU dalam hal pelaksanaan suatu kebijakan, sehingga sulit untuk mengeksekusi pelaksanaan suatu UU jika masih bertentangan dengan UU yang lain. Dalam hal ini UU Pilkada berkonflik dengan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang baru saja disahkan. Dalam ketentuan pasal 322 UU MD3 hak DPRD provinsi terdiri dari hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Begitupun dalam pasal 371 UU MD3 juga diakui bahwa DPRD kabupaten/kota memiliki hak yang sama dengan DPRD Provinsi, yakni hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Padahal dalam draft RUU Pilkada yang disetujui, kepala daerah dipilih oleh DPRD secara demokratis. Hal ini juga ditambah dengan kekhususan berbagai provinsi yang memiliki pengaturan sendiri tentang kepala daerahnya, diantaranya provinsi DKI Jakarta dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua  dalam Perppu No 1 Tahun 2008 yang disahkan dalam UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, provinsi DI Yogyakarta dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah Pemilukada
            Euforia reformasi 1998 telah membawa perubahan besar di Indonesia. Utamanya dalam bidang politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pintu demokrasi terbuka lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, yang mana menjadikan hak-hak rakyat Indonesia semakin diakui dan dijamin oleh konstitusi. Rakyat Indonesia dijamin dan diberi kesempatan luas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
            Tak ingin mengulangi kekurangan-kekurangan dalam zaman orde baru, dimana kekuasaan terlalu terpusat dan sentralistik, maka diperbesarlah kewenangan pemerintah daerah melalui desentraliasi kekuasaan. Dengan desentralisasi, berarti juga kewenangan daerah semakin besar dalam mengusrus dirinya sendiri, maka kewenangan kepala daerah juga semakin besar. Dalam hal ini posisi kepala daerah menjadi menarik karena merupakan penentu kebijakan daerah disamping DPRD tentunya.
Dimulai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang dalam hal ini gubernur, bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Pada masa ini, kekuasaan kepala daerah yang besar seakan tanpa ada koordinasi antara gubernur dengan bupati/walikota. Pun, kepala daerah yang dipilih kurang sesuai dengan kehendak rakyat, sehingga diadakan penyempurnaan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam ketentuan pasal 24 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Hal ini menandai suatu era baru dalam demokrasi Indonesia, dimana rakyat diberi kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, tidak hanya presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD, namun juga pemimpin di level daerah, yakni gubernur dan bupati/walikota.
Pada dasarnya menurut ketentuan konstitusi pasal 22 E UUD 1945, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Oleh karenanya, jika dlihat secara tekstual, pemilihan kepala daerah tidak termasuk rezim pemilu. Akan tetapi, dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945, Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dalam hal ini, kepala daerah dapat dipilih langsung oleh rakyat atau melalui wakil-wakilnya DPRD, karena kedua cara tersebut sama-sama demokratis.
Pemilihan kepala daerah masuk menjadi rezim pemilu setelah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Hal ini berdasarkan konsep pada UU No.32 Tahun 2004 dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, perubahan rezim hukum ini juga berakibat pada penyebutan proses pemilihan kepala daerah ini menjadi pemilihan umm kepala daerah (pemilukada). Dengan masuknya pemilukada dalam rezim pemilu, maka penyelesaian sengketanyapun masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, berdasarkan dinamika politik yang terjadi, maka MK mengeluarkan putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengakhiri kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilukada, namun kewenangan sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang pengganti.
Demokrasi Maju-Mundur
            Dalam usianya yang ke 69 ini bangsa Indonesia masih mencari bentuk demokrasi yang ideal. Berbagai bentuk demokrasi pernah mewarnai negeri ini, diantaranya demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila versi orde baru, dan demokrasi reformasi. Dalam realitanya, berbagai bentuk demokrasi itu, melahirkan berbagai kebaikan juga kekurangannya masing-masing dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 69 tahun ini.
            Dewasa ini, bangsa Indonesia menikmati demokrasi hasil reformasi 1998 tersebut. Hasillnyapun dapat disaksikan oleh semua rakyat Indonesia, diantaranya Hak Asasi Manusia rakyat Indonesia yang semakin kuat, kebebasan dalam segala bidang kehidupan masyarakat.Walaupun, tak dapat dipungkiri pula juga tak sedikit ekses negatif reformasi 1998 ini yang memerluan perbaikan. Begitupun dalam hal ini, pada dasarnya pemilukada juga merupakan hasil dari reformasi 1998 tersebut.
Dengan berbagai dinamikanya, pemilihan kepala daerah dapat diikuti secara langsung oleh masyarakat, yang secara aktif memberikan suaranya untuk menentukan kepala daerah yang mereka pilih. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan esensi dari demokrasi itu sendiri, yakni pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Setidaknya, dari hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung lebih mendekati konsep ini. Walaupun, tak dapat dipungkiri lagi, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya.
Sebenarnya dalam konsep kedaulatan rakyat itu sendiri, pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau secara langsung oleh rakyat sama-sama tak mengurangi esensi dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Menurut Afan Gaffar, indkator demokrasi ada lima yakni, akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum dan pemenuhan hak-hak dasar. Dalam hal ini, dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, masyarakat diberikan porsi lebih besar dalam menentukan pemimpinnya di daerah. Hal ini tentu meningkatkan patisipasi masyarakat dalam bidang politk, yang mana hal ini tentu merupakan sebuah indikator demokrasi yang semakin maju.
Dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung ini, kepala daerah yang dipilih dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini tentu lebih baik dalam hal pendidikan politik bagi masyarakat, jika dilakukan sesuai dengan sistem yang terbangun. Kecuali biaya politik yang besar dan potensi konflik sosial dalam masyarakat, Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih dikhawatirkan akan tersandera oleh transaksi-transaksi elit politik, yang mana rakyat dalam level akar rumput hanya bisa menontonnya tanpa bisa menghentikannya, oleh karena keputusan dalam memilih kepala daerah tetap berada dalam kewenangan DPRD.
Pasca persetujuan RUU Pilkada menjadi UU dapat dikatakan bahwa kehidupan demokrasi bangsa Indonesia mundur. Oleh karena hak politik rakyat dalam menentukan pemimpinnya secara langsung di daerah dipangkas dengan adanya UU ini. Walaupun, pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga merupakan sebuah hal yang demokratis dan mencerminkan kedaulatan rakyat, namun jangan dilupakan bahwa sebelumnya kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia semakin menuju ke arah yang lebih baik dengan memilih kepala daerah secara langsung. Begitupun, hasilnya banyak pemimpin daerah yang berprestasi dan sesuai dengan kehendak masyarakat. Sungguh ironis, dengan niat ingin memperbaiki kehidupan demokrasi dan perpolitikan bangsa ini, UU Pilkada justru memundurkan demokrasi dengan memangkas hak politik rakyat Indonesia untuk memilih kepala daerah. Kiranya akan lebih bijaksana, jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang banyak juga kekurangannya, dilakukan perbaikan tanpa memangkas hak politik rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya, bukan malah mengembalikannya ke dalam keadaan sebelumnya.
Sikap Politik Reaksioner
            Undang undang dapat dimengerti sebagai sebuah produk hukum, yang mana didalamnya terdapat pertarungan berbagai kepentingan. Dalam banyak hal, kepentingan itu diantaranya kepentingan modal, kepentingan politik, kepentingan konstituen dan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, undang-undang sebagai keputusan politik yang disahkan menjadi hukum positif untuk seluruh rakyat, tak lepas dari adanya lobi-lobi politik para pembentuknya, yakni para legislator yang notabene wakil-wakil rakyat di parlemen.
            Begitupun dalam UU Pilkada ini, pertarungan kepentingan begitu terlihat. Hal ini ditandai dengan banyaknya lobi-lobi politik fraksi dalam DPR dalam hal persetujuan UU ini.  Namun, sayangnya keputusannya cenderung bersifat reaksioner. Oleh karena, dengan UU ini dapat dikatakan dapat menghalangi kemajuan demokrasi masyarakat selama ini dan mengembalikannya ke keadaan sebelumnya. Begitupun dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, DPR bertindak secara reaktif dengan langsung saja memberikan keputusan mengembalikan kewenangan tersebut ke tangan DPRD, tanpa adanya perbaikan terhadap sistem yang telah berjalan, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kemunduran demokrasi.

            Kini perhatian masyarakat akan tertuju ke MK, menyusul pernyataan berbagai pihak yang akan melakukan judicial review terhadap UU Pilkada. Dengan salah satu fungsinya sebagai penegak demokrasi, MK diharapkan mampu menegakkan demokrasi yang hakiki bagi Indonesia. Namun, terlepas dari itu, sebagai warga negara yang baik, hendaknya masyarakat tetap menghormati UU Pilkada ini sebagai sebuah produk hukum dan keputusan politik dari para wakil rakyatnya di parlemen. Dengan demikian, bangsa Indonesia tetap aman tenteram dan demokrasi bangsa ini dapat semakin maju. 

Rabu, 12 Maret 2014

Perbandingan Definisi Hukum Internasional

Tugas Perbandingan Definisi Hukum Internasional

A. Definisi Hukum Internasional menurut ahli hukum

1. Prof. Mochtar Kusumaatmadja
Hukum Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
(1) negara dengan negara
(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
2. J.L Briefly
The Law of Nations, or International Law, may be defined as the body of rules and principles of action which are binding upon civilized states in their relations with one another.
3. Emerich de Vattel
The Law of Nations is the science of the rights which exist between nations or states, and of the obligations corresponding to these rights.
4. Calvo
Law of the nations or international law is the name for the body of customary and conventional rules which are considered legally binding by civilized states in their intercourse with each other.
5. Svarlien
Public international law is that body of customs, rules and principles which are recognized as binding upon all states and other international persons in their mutual relations.
6. Philip C. Jessup
Hukum transnasional (transnasional law) adalah hukum yang mengatur semua tindakan atau kejadian yang melampaui batas teritorial suatu negara.
7. Hughes
What is international law ? It is the body of principles and rules which civilized states consider as binding upon them in their mutual relations. It rests upon the consent of sovereign states.
8. Charles G Fenwick
International law may be defined in broad terms as the body of general principles an specific rules which are binding upon the members of the international community intheir mutual relations.

B. Perbandingan Definisi Hukum Internasional

1. Pembagian antara privat dan publik
            Dalam lapangan hukum, pada dasarnya hukum menurut substansinya dapat dibagi dalam hukum privat dan hukum publik. Yang dimaksud dengan hukum privat merupakan hukum—baik material ataupun prosesnya—didasarkan atas kepentingan pribadi-pribadi. Sedangkan Hukum Publik merupakan hukum yang didasarkan pada kepentingan publik, materi dan prosesnya atas dasar otoritas publik. Publik di sini diwakili oleh Negara. Pembagian ini juga terkait pula dalam bidang hukum internasional, yang mana hal ini dapat ditinjau dari pendapat para ahli mengenai definisi hukum internasional.
            Pendapat Philip C. Jessup mengenai hukum internasional yang mencakup semua hukum yang melintasi batas suatu negara, menunjukkan bahwa tidak terdapat pembagian antara bidang publik dan privat, karena semua hukum tersebut dapat disebut hukum internasional atau yang dalam istilah Philip C. Jessup disebut sebagai hukum transnasional.
            Pendapat Mochtar Kusumaatmadja membedakan antara hukum internasional dalam bidang privat dan publik. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, hukum perdata internasional ialah keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum  yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berlainan. Sedangkan yang disebut hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yang bukan bersifat perdata.
            Selain kedua pendapat diatas, pendapat ahli hukum yang tercantum dalam contoh definisi hukum internasional diatas, lebih menekankan pada aspek hukum internasional publik, yang mana ahli-ahli hukum tersebut memberikan penekanan kepada aspek negara sebagai subjek utama hukum internasional. Hal ini tampak pada pendapat tentang hukum internasional dari Briefly, Emerrich de Vattel, Calvo, Svarlien, Hughes dan Fenwick.
2. Subjek Hukum Internasional
            Pada dasarnya yang disebut dengan subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban dalam hukum (Prof. Subekti). Didalam konsep hukum inetrnasional, juga dikenal subjek hukum yang merupakan pelaku utama dalam hubungan hukum internasional, yang dalam hal ini hukum internasional publik.
            Subjek hukum internasional tersebut menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, antara lain Negara, Takhta suci, Palang Merah Internasional, Organisasi internasional, orang perorangan (individu) dan peberontak atau pihak yang berada dalam sengketa. Pihak-pihak tersebut dianggap sebagai subjek hukum internasional berdasarkan kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah. Bagi pengamatan secara hukum positif tidak menjadi soal apa yang menjadi sumber hukum dari hak dan kewajiban tersebut.
            Pada dasarnya negara memegang peranan penting dalam hukum internasional publik. Menurut pendapat kedelapan ahli hukum inetrnasional tersebut, semuanya sependapat bahwa subjek hukum internasional yang utama adalah negara, hal ini dapat dilihat dari pendapat masing-masing ahli yang hanya menyatakan negara dalam pendapatnya terkait definisi hukum internasional. Pendapat Briefly, Emerich de Vattel, Calvo, Hughes masing-masing menyatakan bahwa negara yang beradab merupakan subjek utama hukum inetrnasional yang mengikat secara hukum dalam melakukan hubungan internasinal antara satu negara dengan yang lain.
            Pendapat Hughes juga menyatakan bahwa yang menjadi subjek hukum internasional adalah negara yang berdaulat, sehingga kaidah mengenai kedaulatan suatu negara sangat penting menurut Hughes. Selain pendapat para ahli tersebut, pendapat Mochtar Kusumaatmadja, Svarlien, Jessup, Fenwick menyatakan bahwa selain negara sebagai subjek hukum internasional, juga terdapat pihak-pihak lain yang juga dapat turut menjadi subjke hukum internasional. Hal ini dapat dilihat dari definisi Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara, sehingga hal ini dapat berupa takhta suci, palang merah internasional, pemberontak atau pihak yang dalam sengketa, individu dan organisasi internasional.
            Definisi hampir serupa yang memuat subjek bukan negara dalam definisi hukum internasional terdapat dalam pendapat Svarlien yang menyatakan selain negara juga terdapat individu internasional lainnya, yang dapat juga diterjemahkan para pihaknya seperti dalam pendapat Mochtar Kusumaatmadja. Kemudian, pendapat Fenwick tidak menyebutkan negara sebagai subjek hukum internasional secara spesifik, tetapi menyebutkannya dalam pengertian anggota komunitas internasional, sehingga subjek hukum internasional lebih luas lagi sebagaimana anggota komunitas internasional tersebut dan sudah tentu tidak terbatas pada negara.
           
Sumber Referensi :
Kusumaatmadja, Mochtar, Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni, 2003
Tsani, M. Burhan. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990

Svarlien, Oscar. An Introduction To The Law Of Nations. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc, 1955